Diawali Coba-Coba, Asetnya Kini Ratusan
Mintarya
Sonjat, pendiri usaha jamur Solagracia, tak pernah membayangkan jika dirinya
bakal menjadi pengusaha jamur sukses seperti sekarang.
Semula
pria kelahiran Cianjur, Jawa Barat, ini hanya iseng membudidayakan bibit jamur
merang di sekeliling rumahnya. Tanpa dinyana, hasilnya bagus. Produk jamurnya
disukai para tetangga dan lingkungan sekitar rumah.
Makin
banyak yang suka, Mintarya bertekad untuk memproduksi jamur lebih banyak.
Terlebih, anggota keluarganya juga menyukai masakan dari bahan baku jamur.
Dengan modal sekira Rp1 juta yang didapat dari pinjaman salah seorang temannya,
dia pun memulai usaha jamur.
Uang
tersebut digunakan untuk membuat tempat pengolahan jamur berukuran 1x2 meter di
rumahnya. “Karena saya yakin usaha jamur ini bagus, saya mantap menggunakan
uang pinjaman untuk modal awal usaha,” ungkap Mintarya.
Berbekal
pinjaman Rp1 juta, Mintarya dengan tekun memulai usaha. Dia memutuskan untuk
serius menekuni budi daya jamur pada 2002. Fokusnya adalah budi daya jamur
merang.
“Saya
memilih jamur merang karena produksinya lebih gampang,” kata lelaki yang juga
berprofesi sebagai pendeta ini.
Di
2007, Mintarya memutuskan mencari kredit lunak untuk pengembangan usaha.Keputusan
ini diambil dua tahun sejak dirinya ditawari oleh bank untuk mengajukan kredit.
Sebelumnya Mintarya cenderung takut meminjam dana dari bank.
“Saat
itu saya takut meminjam uang ke bank karena dari berbagai cerita yang saya
dengar, bank identik dengan proses yang berbelit dan penyitaan. Ternyata saya
salah. Justru karena meminjam bank, usaha saya ternyata mampu berkembang,”
tuturnya.
Berbekal
akta tanah miliknya, Mintarya menjadi nasabah Bank BRI dan mengajukan pinjaman.
Bank BRI memberikan bantuan modal usaha sekira Rp50 juta. Mendapat kepercayaan
yang begitu besar dari pihak perbankan menjadikan Mintarya semakin termotivasi.
Apalagi,sebagai nasabah pemula, mendapatkan pinjaman besar seperti itu jelas
merupakan tantangan besar baginya.
“Layanan
yang diberikan membuat saya memberanikan diri untuk mengajukan diri sebagai
nasabah Bank BRI. Selain itu, Bank BRI hampir tiap bulan melakukan pembinaan
dengan mengarahkan dan memotivasi kami,” terang Mintarya.
Peran
Bank BRI dalam membina usahanya begitu besar. Setelah mendapatkan pinjaman,
usahanya meningkat. Kapasitas produksi usaha jamurnya bahkan mencapai 50
kilogram (kg) untuk jamur kering maupun jamur segar per harinya.
Untuk
mencapai produksi hingga 50 kg per hari,Mintarya meluaskan tempat produksi
jamurnya menjadi ukuran 6x12 meter sehingga dia mampu membukukan omzet antara
Rp20 juta–Rp30 juta per bulan. Kini usahanya kian maju, aset usaha jamur milik
Mintarya telah tembus ke angka ratusan juta rupiah.
Menariknya,
Mintarya mempelajari semuanya secara autodidak. Mintarya kerap membaca
literatur soal jamur di toko-toko buku untuk mengetahui seluk beluk
pembudidayaannya.
Dia
pun tak segan melancong ke luar daerah untuk belajar lebih dalam tentang budi
daya jamur dari petani lain agar pengetahuannya bertambah.
Usahanya
untuk terus belajar dan menimba ilmu dari banyak petani jamur lain terbukti
membuahkan hasil. Mintarya bahkan sukses membudidayakan jamur di wilayah
Cianjur yang sebenarnya kurang cocok untuk budi daya jamur karena letaknya di
daratan rendah.
“Banyak
orang yang mengatakan tidak akan jadi kalau memproduksi jamur di suhu yang
tidak cocok. Namun,karena saya penasaran dan mencoba, akhirnya berhasil juga.
Terbukti saya bisa memproduksi hingga sekarang,” ujarnya.
Menurutnya,
usaha budi daya jamur sangat menguntungkan. Selain menghasilkan produk bernilai
ekonomi tinggi, bahan baku usaha ini mudah didapat.
Serbuk
gergaji yang menjadi bahan baku produksi mudah diperoleh lantaran sebagian
orang menganggap serbuk gergaji adalah limbah.
Menurut
ayah dari seorang putra ini, faktor lokasi atau kendala lainnya bukan menjadi
sebuah alasan untuk tidak memulai usaha budi daya jamur. Asal tahu ilmunya dan
belajar tentang perkembangan teknologi pertanian mutakhir, hambatan apa pun
bisa dilalui.
Terbukti,
Mintarya yang mengembangkan usaha di dataran rendah tetap mampu menghasilkan
produk jamur yang kualitasnya setara dengan produkproduk jamur dari dataran
tinggi.
Produk
jamur usaha Mintarya dengan nama Solagracia, yang berarti “karena anugerah”,
telah menyebar ke banyak daerah seperti Lembang, Ciledug, Bogor, Tangerang, dan
Bekasi. Lelaki tamatan SLTA ini mengaku senang karena usahanya berkembang. Dia
semakin bersyukur, Solagracia mampu mewujudkan cita-citanya untuk turut
memajukan masyarakat sekitar.
“Banyak
masyarakat di sini yang ikut bekerja kepada kami. Kami harap, setelah mereka
mendapatkan ilmu, nantinya bisa membuat usaha sendiri agar mereka mampu
mandiri,” tutur Mintarya. Mintarya yang pernah dilibatkan dalam gelar pameran
Karya PKBL BUMN di Jakarta Convention Center (JCC) beberapa waktu lalu itu
tetap berharap usahanya tambah besar.
Dia
optimistis, usahanya dapat terus berkembang dan dalam jangka pendek ini dia ingin
meningkatkan kapasitas produksi. Mintarya tidak hanya meningkatkan kapasitas.
Dia
pun terus berinovasi, baik terkait bahan baku,proses pengolahan,hasil produksi,
maupun pemasaran.Semua itu adalah bagian dari upaya mewujudkan impian besarnya.
“Ekspansi ke seluruh Nusantara dengan pengembangan plasma adalah impian
terbesar saya,” ujarnya.
Mintarya
merasa yakin pengembangan plasma di seluruh daerah Indonesia tidak terlalu
susah. Sebab, sejak awal dia sudah melakukan pelatihan gratis kepada para petani
jamur.
Bukan
hanya untuk petani di Cianjur, dia juga memberikan pelatihan kepada para petani
dari berbagai daerah lain. “Ini menjadi kebahagiaan tersendiri. Banyak orang
bisa belajar dari pengalaman saya,” tuturnya.
Kerelaan
Mintarya berbagi ilmu inilah yang membuatnya sukses mengembangkan jaringan
plasma selama ini. Dalam skema plasma, Mintarya menyediakan bibit jamur dan
menampung hasil panen.
“Jadi,
petani tinggal memelihara tanamannya saja. Ke depan saya berharap bisa
merangkul ribuan orang yang pernah mendapat pelatihan, khususnya yang berasal
dari luar Jawa,” ujarnya.
Mintarya
dengan senang hati akan memberikan bimbingan dan konsultasi bagi mereka yang
mau menjadi petani plasma. Bagi para petani dari luar daerah yang hendak
menimba ilmu terkait budi daya jamur di lokasi pertaniannya, Mintarya telah
menyediakan fasilitas penginapan.
Dia
mengatakan, sukses yang diraihnya saat ini merupakan buah kerja keras dan
usaha. Mintarya memiliki kiat lain dalam berbisnis yang mungkin bisa saja
dijalankan pebisnis lainnya.
“Kunci
sukses berbisnis adalah ketekunan. Selain itu, jangan pelit berbagi ilmu.
Dengan berbagi ilmu, kita semakin banyak memiliki kawan,” tutur Mintarya. (ricky
susan)
(Koran
SI/Koran SI/ade)
Yang Makmur Karena Jamur
Walaupun bukan komoditas unggulan, bila ditekuni secara serius, usaha tani
jamur dapat memberikan keuntungan yang memadai. Berikut para pelaku yang sukses
berbisnis jamur.
Misa Suwarsa
Belajar Sampai ke Negeri Cina
Sejak 1990, lelaki yang pernah menjadi dosen Teknik Kimia ITB ini memutuskan
serius menekuni jamur merang. “Awalnya, saya pernah ketemu dosen tamu dari Uni
Eropa. Dia bilang kenapa jerami harus dibakar, padahal jika dimanfaatkan
sebagai media jamur, nilai ekonominya bisa enam kali lipat besarnya,” cerita Misa.
Tersadar oleh kritik dosen tamu tersebut, Misa mulai mencoba mempelajari
budidaya jamur merang. Setelah sekian lama, impiannya untuk mengenal lebih
dalam tentang jamur terwujud karena pada 2004 dirinya mendapat undangan magang
dari pemerintah China. Pada tahun yang sama, dia mendapatkan penghargaan Satya
Lencana Wira Karya dari Presiden RI atas baktinya mengembangkan pertanian
kususnya jamur merang.
Sekarang jumlah kumbungnya ada 20 unit. Rata-rata produksi jamur merangnya
sekitar 400—500 kg per kumbung. Dengan harga jual saat ini yang berkisar
Rp10.000—Rp12.000 per kilo, dalam satu siklus satu kumbungnya mampu
menghasilkan Rp6 juta. Itu belum termasuk hasil yang masuk kelas BS.
Saat ditanya apa rahasianya, Misa hanya menjawab, kuncinya pada styrofoam, kelembapan,
dan suhu. Memang bila diperhatikan, kumbungnya berbeda dari kumbung milik
petani jamur merang pada umumnya. Kumbung jamur bapak satu anak ini terbuat
dari styrofoam, bukan dari bambu. “Styrofoam dapat menahan panas sehingga suhu
optimum kumbung pada kisaran 32o—34oC dengan kelembapan 95%--98% dapat tetap
terjaga,” bebernya
Misa juga mengingatkan, saat proses fermentasi media, harus dipastikan kadar
pH-nya dan jenis bahan yang digunakan. Fermentasi media yang sempurna
menentukan 50% keberhasilan tumbuhnya jamur merang. Sedangkan 50% nya lagi
ditentukan dari kualitas bibit yang digunakan.
Karena kesuksesannya di bidang jamur, sejak tahun 2000 pemerintah mempercayai
Misa untuk menyelenggarakan pelatihan jamur merang. Setahun sekali, tiap daerah
mengirimkan wakilnya untuk belajar di tempatnya. Selain itu lelaki 48 tahun ini
juga memproduksi bibit jamur merang dan ia berani mengklaim bahwa bibitnya
terbuat dari F nol.
Jemy Susanto
Patahkan Teori
Lazimnya jamur tiram tumbuh subur pada daerah dataran tinggi. Namun Jemy
Susanto mencoba membudidayakanya di Solo yang merupakan daerah panas. Mula-mula
banyak yang tidak yakin dengan apa yang dilakukan Jemy, begitu biasa dia
disapa. Tapi dengan tekat kuat dan rasa optimis, ia maju terus. “Semua daerah
sebenarnya bisa, tinggal bagaimana pintar-pintar kita memodifikasi tempat
tumbuh jamur, terutama dalam hal kelembapan,” terangnya
Selama ini daerah Solo mengandalkan pasokan jamur tiram dari daerah lain.
Karena itu kalau ia bisa mengembangkan jamur ini di Solo, maka harganya bisa
ditekan. Konsumen pun lebih banyak yang menjangkaunya.
Jemy memilih jamur tiram karena menurutnya jamur tiram mudah dibubidayakan.
Perbandingan kelayakan usahanya pun tertinggi dibandingkan jenis jamur lain.
Untuk itu sejak 2,5 tahun lalu, ia mendirikan PT Agro Jamur Lestari yang
memfokuskan diri pada pembuatan bibit dan baglog. Kapasitas produksi bibitnya
saat ini mencapai 1.000 botol per hari atau lebih bergantung pesanan.
Saat ditanya tentang kemampuan bibitnya, pria berkaca mata ini menuturkan, tiap
botol bibitnya oleh petani biasanya diturunkan lagi menjadi 50 botol F3,
setelah itu baru dapat diaplikasikan ke 2.000 baglog. Sejauh ini bibit buatanya
sudah banyak digunakan tidak hanya petani jamur tiram di Solo, tapi sudah
merambah ke Palembang, Samarinda, Riau, Timika, dan kota–kota di Jawa.
Bapak satu anak ini menawarkan sistem kemitraan kepada petani dan membaginya
menjadi tiga kategori kemitraan. Kemitraan Berdikari, yaitu petani hanya
membeli bibit saja; Kemitraan Bagi Hasil 70 : 30 untuk pembelian baglog dengan
harga spesial untuk petani di Jawa; Yang terakhir Jemy siap melakukan
presentasi dan petihan di daerah mana saja.
Ir. NS Adiyuwono
Siasati Pasar Agar Tetap Bertahan
Walaupun baru empat tahun memulai usaha jamur di Ciwidey, tapi saat ini
perusahaan jamur Sinapeul milik Adiyuwono mampu meraih omzet Rp20 jutaan per
minggu. Perusahaan jamur yang berlokasi di Bandung Selatan ini, selain
menghasilkan 600-700 kg jamur tiram dan kuping per hari, juga memproduksi
sekitar 100 ribu baglog/bulan dan 30.000 botol bibit/bulan. Baglog buatannya
sekarang banyak digunakan petani asal Bogor, Cikole, Cisarua, Banjaran dan
daerah sekitar Bandung. Sedangkan pemasaran bibitnya kini telah menjangkau
Aceh, Medan, Riau, Solo, dan Surabaya
Menurut Adi Yuwono, keberhasilannya itu karena ditunjang dengan komitmen untuk
tetap membudidayakan jamur dalam kondisi organik. “Kalau organik ‘kan harganya
tinggi, nah dari situ ‘kan marjin sudah terbayarkan,” terang pria yang mengaku
bermodal awal Rp100 jutaan ini
Adi juga mengingatkan, masalah pengemasan yang sangat berkaitan dengan tingkat
kesegaran jamur. Ia mencontohkan pada jamur tiram. Dahulu semua dikemas dalam
ukuran 20 kg tapi sekarang hanya dibungkus dalam ukuran 5 kg atau 2 kg saja.
Ternyata pengemasan dalam ukuran kecil dapat menjaga kesegaran dan kualitas
jamur. Selain itu juga dapat menekan angka kehilangan saat pendistribusian yang
mencapai 5%—20% jika menggunakan kemasan besar.
Hal lain yang menjadi penentu kesuksesannya bertahan di bisnis jamur adalah
inovasi. Perusahaannya sekarang sedang mengembangkan pembuatan jamur kuping
dalam bentuk serbuk, “Jadi selain segar dan kering, sekarang kita coba pasarkan
dalam bentuk serbuk karena kalau dalam bentuk bubuk mereka lebih mudah
mengolahnya,“ ungkap pengusaha yang kebunnya berada di 8 lokasi terpisah
ini.
Bisnis Jamur Tiram Mengubah Sopir
Menjadi Pengusaha
Sukses
berbisnis
Jamur tiram ternyata telah mengubah nasib Pak
Kaiman dari Sopir menjadi enterpreneur yang cukup sukses. Kesuksesan Pak
Kaiman menambah deretan orang yang menekuni bisnis jamur Tiram.
Perjalanan Bisnis Jamur tiram bapak dua anak ini telah dimulai sejak 2005
dengan susah payah. Berkat kerja kerasnya kini secara rutin ia telah memasok
jamur tiram ke pelanggan rata-rata 100 kg/hari dengan harga jual Rp10.000/kg
serta 1.000 unit baglog/media tanam dengan harga jual Rp2.250 per unit.
Kesuksesan usaha jamur tiram Pak Kaiman tidak lepas dari pembinaan dari PT HM
Sampoerna Tbk mencakup bantuan peralatan, manajemen serta promosi.
Sebelum
menjadi pengusaha jamur tiram ia berprofesi sebagai sopir angkutan barang rute
Surabaya – Bali. Akbibat sepinya volume penumpang, maka Kaiman tidak memperoleh
pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam rumahtangga.
Sehingga dia pun tidak melanjutkan usaha angkutan kota.
Peluang
kerja sangat terasa sangat sempit Kaiman sebab ia tidak punya ijazah, mengingat
tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Dalam keadaan seperti ini, pada 2005 ada
tawaran untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan di bidang budidaya jamur dari HM
Sampoerna. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Kaiman kemudian ia mengikuti
pelatihan tersebut. Bersama 20 peserta lainnya Kaiman mengikuti pelatihan
dengan serius.
Dengan
bermodalkan 1.000 unit baglog, Kaiman memulai usaha budidaya jamur tiram dengan
penuh keseriusan. Tempat budidaya yakni bangunan berdinding gedeg/bambu telah
dimiliki, maka wirausaha jamur dapat dilaksanakan.
Berdasarkan
ilmu yang diperoleh dari pelatihan, media tanam terdiri dari serbuk kayu
gergajian, dedak/katul, tepung jagung dan kalsium yang dibungkus plastik dengan
bobot 1,1 kg per unit baglog.
Kumbung
seluas 50 m2 (lebar 5 meter x panjang 10 meter) dapat dimanfaatkan untuk
pembudidayaan 5.000 unit baglog.“Jamur tiram tergolong tanaman yang cepat
tumbuh dan setiap unit baglog dapat menghasilkan panenan hingga 1 kg selama 5
bulan, lalu diganti media tanam baru. Tetapi saat panen perdana saya kesulitan
mencari pasar,” kenang Kaiman.
Untuk
itu, dia melakukan penjualan keliling guna menawarkan jamur tiram ke restoran
dan swalayan, sementara di pasar tradisional umumnya belum terbiasa digunakan
menjual komoditas tersebut sebab masyarakat luas belum terbiasa mengkonsumsi
jamur tiram.
Dengan
didasari ketekunan untuk meraih keberhasilan, Kaiman tidak lelah memasarkan
jamur tiram ke calon pembeli potensial yakni para pengepul maupun restoran
pengguna jamur untuk bahan masakan.
“Selain
mencari terobosan pasar sendiri, saya juga dibantu PPK Sampoerna untuk
mempromosikan jamur yang dipajang di etalase PPK Sampoerna sekaligus diikutkan pameran
bersama pengusaha kecil lainnya yang dibina Sampoerna,” papar Kaiman.
Berkat
ketekunan dalam memperluas pasar, Kaiman berhasil mendapatkan order dari para
pengepul maupun restoran di berbagai kota (tidak terbatas di wilayah Kab.
Pasuruan). Seiring semakin besarnya daya serap pasar, Kaiman pun dapat
meningkatkan volume usahanya.
Kini
dia memiliki beberapa kumbung yang digunakan membudidayakan puluhan ribu unit
baglog. Selain itu, juga memenuhi permintaan baglog dari petani Dengan
demikian, Kaiman mampu memunculkan petani-petani jamur di beberapa daerah.
Sesuai
tuntutan pasar, Kaiman harus menyiapkan jamur dan baglog dalam jumlah yang
cukup. Untuk menggerakkan kegiatan usahanya, dia kini didukung 12 tenaga kerja
yang diupah secara harian.
“Saya
kini rata-rata memasok baglog sebanyak 1.000 unit per hari dengan harga jual
Rp2.250 per unit antara lain memenuhi permintaan dari Dinas Pertanian dan Perum
Perhutani di beberapa kabupaten/kota, selain pesanan langsung dari
petani/pembudidaya. Ini membuktikan konsumsi jamur semakin meningkat,” papar
Kaiman.
Meningkatnya
konsumsi jamur otomatis berdampak positif terhadap peningkatan omset Kaiman.
Soalnya, harga jual jamur tiram sebesar Rp10.000/kg, sedangkan Kaiman mampu
memasarkan 100 kg/per hari memenuhi pengepul dan restoran.
Untuk
memperlancar kegiatan usaha budidaya jamur tiram dibutuhkan ketersediaan bahan
baku utama yakni serbuk gergajian kayu. Masalahnya, serbuk kayu gergajian di
Kab. Pasuruan kini mulai langka, sehingga harus dicari hingga kabupaten-kabupaten
tetangga yakni di Kab. Malang dan Kab. Lumajang.
Harga
beli serbuk kayu Rp8.000 per sak ukuran 40 kg, yang dapat diolah menjadi 25
unit baglog, sehingga berdasarkan kalkulasi cukup menguntungkan kendati
ditambah jenis bahan lain untuk media tanam.
Sejalan
dengan berkembangnya usaha budidaya jamur tiram dan produksi baglog, Kaiman
kini benar-benar mampu menikmati hasilnya. Dia optimis usaha yang digelutinya
sejak empat tahun terakhir akan mampu meningkat lagi di masa-masa mendatang.
Community
Development Executive PT HM Sampoerna, Widowati, menjelaskan Kaiman merupakan
bagian dari puluhan pengusaha kecil binaan perusahaan tersebut yang masih perlu
pendampingan hingga benar-benar mampu mandiri.
“Kami
sejak tahun lalu juga mengoperasikan UKM (Usaha Kecil Menengah) Center di
Central Business District Taman Dayu, Kab. Pasuruan, yang memiliki fasilitas
untuk men-display produk yang dihasilkan mitra binaan. UKM Center juga
dijadikan ajang per-temuan sesama pengusaha kecil untuk saling tukar informasi
dan berlatih tentang pemasaran,” papar Widowati. (Galeriukm).